Menurut Yahya harahap (2001: 544) mengemukakan bahwa pengertian tanda tangan dan dokumen tertulis lainnya tidak mesti diatas kertas kemudian dapat menjadi bukti tertulis, tetapi hal itu hanya berlaku bagi negara yang menganut sistem pembuktian terbuka. Oleh karena foto dan peta yang melukiskan suatu tempat hingga saat ini masih sulit untuk dijadikan sebaga alat bukti dalam hukum acara perdata.
Terkait dengan itu dalam hukum pembuktian acara perdata pemuatan suatu tanda tangan dijadikan sebagai suatu persyaratan mutlak agar surat tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti. Bahkan Subketi (1977: 89) mengakui “bahwa suatu akta baru dapat dikatakan sebagai akta otentik jika suatu tulisan itu memang sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa yang ditandatangani.” Dengan demikian unsur-unsur yang penting untuk suatu akta ialah kesengajaan untuk menciptakan suatu bukti tertulis dan penandatanganan tulisan itu.”
Syarat penandatanganan ditegaskan dalam Pasal 1 Ordonansi Tahun 1867 Nomor 29 yang menegaskan “ketentuan tantang kekuatan pembuktian dari tulisan-tulisan di bawah tangan dari orang-orang Indonesia atau yang disamakan dengan meraka.” Sejalan dengan itu Yahya Harahap (2005: 560) juga menguraikan pentingnya tanda tangan adalah sebagai syarat yang mutlak, agar tulisan yang hendak dijadikan surat itu ditandatangani pihak yang terlibat dalam pembuatannya. Lebih tegas Yahya Harahap menguraikan “bahwa suatu surat atau tulisan yang memuat pernyataan atau kesepakatan yang jelas dan terang, tetapi tidak ditandatangani ditinjau dari segi hukum pembuktian, tidak sempurna sebagai surat atau akta sehingga tidak sah dipergunakan sebagai alat bukti tulisan.”
Bahkan surat akta yang dikategorikan sebagai akta di bawah tangan jika hendak dijadikan sebagai alat bukti dalam persidangan kekuatan tanda tanganlah yang melekat dalam perjanjian tersebut hingga dapat ditingkatkan akta dibawah tangan kekuatan pembuktiannya juga mengikat bagi para pihak. Tanpa melepaskan pembuktian bagi hakim untuk menilai pengakuan atas keaslian tanda tangan salah satu pihak itu.
Syarat penandatanganan juga ditegaskan dalam Pasal 1869 s/d Pasal1874 KUH Pdt atau Pasal 1 Ordonansi 1867 No. 29. Ketentuan pasal tersebut menegaskan kekuatan tulisan akta di bawah tangan harus ditandatanngani oleh para pihak. Sedangkan Pasal 1869 menegaskan sekiranya pembuatan akta otentik itu dilakukan oleh pejabat yang tidak berwenang, namun akta tersebut ditanda tangani oleh para pihak, akta tersebut memiliki kekuatan pembuktian sebagai Akta di Bawah Tangan saja.
Fungsi tanda tangan dalam suatu surat adalah untuk memastikan identifikasi atau menentukan kebenaran ciri-ciri penandatangan. Sekaligus pendatangan menjamin keberadaan isi yang tercantum dalam tulisan tersebut.
Berdasarkan praktik dalam kebiasaan untuk melahirkan perjanjian melalui putusan HR yang dikemukakan oleh Pitlo (Yahya Harahap, 2005: 561) terdapat berbagai bentuk tanda tangan yang dibenarkan oleh hukum antara lain:
- Menuliskan nama penanda tangan dengan atau tanpa menambah nama kecil.
- Tanda tangan dengan cara menuliskan nama kecil saja dianggap cukup.
- Ditulis tangan oleh penanda tangan, tidak dibenarkan dengan stempel huruf cetak.
- Dibenarkan mencantumkan kopi tanda tangan si penanda tangan dengan syarat: Orang yang mencantumkan kopi itu, berwenang untuk itu dalam hal ini orang itu sendiri, atau;Orang yang mendapat kuasa atau mandat dari pemilik tanda tangan.
- Dapat juga mencantumkan tanda tangan dengan mempergunakan karbon.
Adapun penggunaan karbon adalah demi efesiensi penandatangan surat atau kata dalam lembar yang sama, hanya bagian pertama saja yang ditandatangani secara langsung. Sedangkan pada bagian kedua merupakan duplikat dengan cara pemasangan karbon, hal yang seperti ini juga dibenarkan oleh hukum. Selain bentuk tanda tangan di atas, cap tangan jempol juga dapat dijadikan sebagai penegasan identitas para pihak yang melakukan perjanjian. Hal tersebut secara tegas diatur dalam Pasal 1874 ayat 2 KUH Perdata maupun ST. 1919 -776 atau Pasal 286 ayat 2 RBG, yang mempersamakan cap jempol dengan tanda tangan.
Tetapi penggunaan cap jempol tidak semuda dalam penggunaan penandatangan untuk suatu akta/ surat. Oleh karena untuk sah dan sempurnanya cap jempol harus memenuhi beberapa prasyarat antara lain:
- Dilegalisir oleh pejabat yang berwenang.
- Dilegalisr diberi tanggal.
- Pernyataan dari pejabat yang melegalisir, bahwa orang yang membubuhkan cap jempol dikenal atau diperkenalkan kepadanya.
- Isi akta telah dijelaskan kepada yang bersangkutan.
- Pembubuhan cap jempol dilakukan di hadapan pejabat tersebut.
Kekuatan cap jempol rupanya lebih rumit agar mendapat kekuatan hukum yang sempurna. Padahal dari segi kepastian hukum cap jempol lebih kuat kepastian hukumnya dibandingkan dengan tanda tangan. Bukankah banyak hasil penelitian mengatakan bhawa sidik jari yang dimiliki setiap orang berbeda dengan yang dipunyai oleh orang lain. Artinya niat jahat dari seorang untuk memalsukannya tidak gampang. Beda halnya dengan tanda tangan yang dengan begitu muda gampang dipalsukan. Oleh sebab itu kurang tepat kiranya jika ada yang mengatakan bahwa cap jempol tidak dapat disamakan dengan kekutann hukum yang melekat dalam sebuah tanda tangan.
Selain itu, Soedikno Mertokusumo (1998: 142) juga mengemukakan bahwa tanda tangan bertujuan untuk membedakan akta yang lain atau dari akta yang dibuat orang lain. Jadi fungsi tanda tangan tidak lain adalah untuk memberi ciri atau untuk mengindividualisir sebuah akta. Akta yang dibuat oleh A dan B dapat diidentifisir dari tanda tangan yang dibububuhkan pada akta tersebut. Oleh karena itu nama atau tanda tangan yang ditulis dengan huruf balok tidaklah cukup, karena dari tulisan huruf balok itu tidak berupa tampak ciri-ciri atau sifat si pembuat.
Selanjutnya Soedikno masih menguraikan bahwa penandatanganan ialah membubhkna nama dari sipenandatangan sehingga membubuhkan paraf yaitu singkatan tanda tangan saja dianggap belum cukup. Namun itu harus ditulis dengan oleh si penandatangan sendiri atas kehendaknya sendiri. Kirannya juga kurang cukup apabila tanda tangan itu hanya berbunyi misalnya Nyoya Sarengat tanpa menyebut nama kecil atau nama aslinya dari si pembuat tanda tangan, karena tidak mustahil timbul suatu sengketa disebabkan adanya dua akta yang kedua-duanya di tanda tangani oleh Nyonya Sarengat, dengan kemungkinan ada dua orang yang bernama sarengat atau ada seorang Sarengat yang mempunyai dua orang isteri.
Dari dua pendapat tersebut di atas, baik Yahya Harahap maupun Soedikno memiliki kesamaan pendapat bahwa tujuan dari pada tanda tangan adalah untuk memastikan identitas dari pihak-pihak yang telah mengikatkan dirinya dalam perjanjian tersebut. Jika dikaji secara filsufis tujuan dari pada pembubuhan tanda tangan tidak semata-mata berfungsi sebagai identitas para pihak saja, tetapi boleh jadi adalah curahan hati dan pikiran yang telah dipikirkan matang oleh orang tersebut, sehingga pada akhirnya ia sepakat untuk mengikuti segala ketentuan yang telah dirundingkan sebelumnya dengan pihak lain, sebagai syarat sahnya sehingga perjanjian tersebut sah sebagai salah satu bentuk perikatan.
Dengan demikian sangatlah benar Yurisprudensi PT Bandung 15 Juli Jawa Barat 1969 – 1972 (Hal. 121) bahwa surat yang ditandatangani oleh orang yang tidak cakap berbuat dalam hukum tidak dapat diajukan sebagai alat bukti. Hal tersebut logis jika ditimbang dengan nalar sehat, oleh karena bagaimana mungkin orang tidak cakap berbuat atau bertindak melakukan perbuatan hukum, sehingga dapat menuangkan kesepakatannya dalam sebuah kesepahaman bersama, yang jelas dari awal sudah pasti perjanjian tersebut telah cacat kehendak, sehingga dengan mengacu pada syarat sahnya perjanjian (Pasal 1234 KUH Perdata) maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.\
Tidak ada komentar:
Posting Komentar