1. Dalam pemerintahan yang berdasarkan hukum, maka hukum mengandung makna sebagai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang berpuncak pada UUD. Coba saudara jelaskan apa makna ungkapan tersebut !
JAWAB :
Berdasarkan prinsip negara hukum, sesungguhnya yang memerintah adalah hukum, bukan manusia. Hukum dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi. Hal ini berarti bahwa dalam sebuah negara hukum menghendaki adanya supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi disamping merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum, sekaligus merupakan pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah wujud perjanjian sosial tertinggi. Oleh Karena itu aturan2 dasar constitutional harus menjadi dasar dan dilaksanaka melalui peraturan per UUan yang mengatur penyelenggaraan negara dan kehidupan masyarakat.
2. Coba Saudara jelaskan secara singkat hubungan antara sistem hukum dengan sistem yang lebih luas, yaitu super system yang terdiri dari berbagai sistem, seperti sistem politik, ekonomi, sistem ilmu pengetahuan dan teknologi dan lain2 !
JAWAB :
Suatu sistem harus dibangun dari berbagai bahan yang terdapat dimaa sistem hukum itu dibangun, dengan memperhatikan kecenderungan2 internasional.
Haryatmoko, mengemukakan ada 3 pandangan yang menunjukkan bagaimana “defacto” hukum itu berfungsi :
1. Dari Pandangan Tracymachus, dapat disimpulkan hukum merupakan kendaraan untuk kepentingan2 mereka yg kuat. Menurut Tracymachus, “hukum tidak lain kecuali kepentingan mereka yang kuat”. Bagi Tracymachus, keadilan adalah yg menguntungkan bagi yg kuat.
2. Pendapat Machiavelli memperlihatkan hukum menjadi alat pembenaran kekerasa. Pada abad XV-XVI, digambarkan ketidak berdayaan moral di dalam politik. Machiavelli dalam “The Prince” menolak mendasarkan politik atas hak dan hukum. Ia menyatakan, tidak ada hukum kecuali kekuatan yg dapat memaksakannya. Hanya sesudahnya hak dan hukum akan meligitimasi kekuatan itu. Hukum adalah nama yg diberikan “a-posteriori” oleh penguasa pada kelupaan atas asal usul kekuasaan. Asal kekuasaan adalah kekerasan. Dalam politik, kekuatan menentukan, sedangkan moralitas tidak berdaya. Machiavelli menghapuskan jarak antara hukum dan kekuatan.
3. Perspektif, Hobbes menunjukkan, hukum tidak berdaya lagi bagi mereka yg tidak mempunyai kekuatan atau yg dalam posisi lemah. Thomas Hobbes menyatakan “perjanjian tanpa pedang adalah kata2 kosong”. Menurut Hobbes, harus ada pengusaha yg kuat utk bisa memaksakan hukum. Hukum kodrat tidak mempunyai kekuatan dan tidak menuntut kewajiban memberikan individu dalam keadaan perang satu melawan yg lain.
3. Legitimasi hukum sangat tergantung dari nilai2 yg harus dipenuhi oleh hukum itu sendiri. Jelaskan secara singkat nilai2 apa yg harus dipenuhi supaya perundang2an yang dibentuk di Indonesia dikatakan “legitimit”
JAWAB :
1. Keadilan (rechtsvaardigheid)
2. Kelayakan/kepatutan (blijkheid)
3. Persamaan (gelijkheid)
4. Kehasilgunaan (doelmatigheid)
5. Kepastian (zakerheid)
6. Tidak terdapat nilai2 abadi, universal, transenden yang memungkinkan (toelaten) untuk menilai hukum dalam semua waktu (zaman) dan dalam semua kultur. Tiap zaman dan tiap kultur menganut nilai2 mereka sendiri dan melindungi serta memajukan mereka dengan hukum.
(Gijssels:19)
4. Mengapa asas2 hukum dapat melaksanakan fungsinya baik dia berada dalam hukum sistem hukum positif maupun berada di luar sistem hukum positif?
JAWAB :
Karena asas-asas hukum berisi nilai-nilai, dan sebagai ukuran nilai, asas2 hukum merupakan aturan2 tertinggi dari suatu sistem hukum positif. Oleh karena itu, dikatakan bahwa dia merupakan fundamen dari sistem hukum positif. Asas2 hukum adalah terlalu umum dan terlalu abstrak untuk dapat digunakan sebagai pedoman bagi bertindak, sehingga harus dikonkritkan. Pengkonkritan ini terjadi melalui generalisasi dari keputusan2 hukum yg selalu diambil dalam rangka fakta2 suatu kejadian, sampai kepada aturan hukum yg lebih rendah, dan proses seperti itu selalu dapat terjadi berulang2. Kalo pengkonkritan itu telah terjadi dan telah ditetapkan pula aturan2 yg bersifar hukum positif dan putusan2, maka asas2 itu masih memiliki sebagai ukuran nilai.
Dengan demikian asas2 hukum mempunyai fungsi ganda yaitu sebagai fundamen dari sistem hukum positif dan penguji kritis terhadap sistem hukum positif itu. (Roeslan Saleh, 1995:21-26).
5. Di Indonesia, Pancasila tidak hanya dipandang sebagai grundnorm untuk norma2 hukum saja, tetapi juga untuk norma2 kehidupan bangsa Indonesia. Coba saudara jelaskan hal tsb secara singkat.
JAWAB:
Menurut Roeslan Saleh, kedudukan Pancasila dalam tertib hukum Indonesia, sbb:
a. PS adalah suatu norma dasar bagi kehidupan bangsa, masyarakat dan negara Indonesia. Ia lebih luas dari yg dikemukakan Kelsen yg membahas grundorm hanya sebagai norma dasar dari suatu tertib hukum. Karena itu jika lazimnya orang mengemukakan ketunggalikaan hukum dalam kebhinekaan norma2 hukum, dengan Pancasila kita dapat (dan harus mengkonstruksikan) ketunggalikaan dalam kebhinekaan norma2.
b. PS bukan hanya norma dasar dari kehidupan hukum dan tertib hukum Indonesia, tetapi adalah juga norma dasar dari norma2 lain seperti norma moral, norma kesusilaan, dan norma etik.
c. PS mengharuskan tertib hukum Indonesia juga serasi dgn norma2 moral, kesusilaan, etika,dsb, karena itu di dlm PS terkandung pula norma2 tsb. (Roeslan Saleh: 1995:33)
6. Pembentukan peraturan per UUan supaya menghasilkan suatu UU yg baik, paling tidak harus memenuhi persyaratan yaitu : 1) Good procedure, 2) Good Norm dan 3) Enforceable. Coba saudara jelaskan secara singkat apa yg seharusnya dilakukan 0leh pembentuk UU sebelum sampai pada tahap “draft rancangan UU”.
JAWAB :
a. Mempunyai pengetahuan yg cukup tentang keadaan senyatanya
b. Mengetahui sistem nilai yg berlaku dalam masyarakat, yg berhubungan dgn keadaan itu, dgn cara2 yg diusulkan dan dgn tujuan2 yg hendak dicapai agar hal2 ini dapat diperhitungkan dan agar dpt dihormati.
c. Mengetahui hipotesa yg menjadi dasar UU ybs, dgn perkataan lain mempunyai pengetahuan ttg hubungan kausal antara sarana (UU dan sanksi yg ada didalamnya) dan tujuan2 yg hendak dicapai.
d. Mengetahui hipotesa ini, dgn perkataan lain melakukan penelitian tentang efek dari UU itu, termasuk efek samping yg tidak diharapkan (Sudarto, 1983:23)
Disamping itu juga harus memperhatikan prinsip2 pemakaian bahasa, supaya tidak menimbulkan berbagai penafsiran. Adapun prinsip2 tsb adalah :
a. Gaya bahasanya singkat dan sederhana, kalimat muluk2 hanyalah membingungkan belaka.
b. Istilan2 yg digunakan sedapat mungkin harus absolute dan tidak relative, sehingga memberi sedikit kemungkinan utk perbedaan pandangan.
c. UU hrs membatasi diri pada hal2 yg nyata dan menghidari kiasan2 dan hipotesis.
d. UU tidak boleh njlimet, sebab ia diperuntukkan orang2 yg daya tangkapnya biasa, ia harus bisa dipahami oleh orang pada umumnya.
e. Ia tidak boleh mengabulkan masalah pokoknya dgn adanya pengecualian, pembatasan atau perubahan, kecuali apabila hal itu mmg benar2 diperlukan.
f. Ia tidak boleh terlalu banyak member alasan; adalah berbahaya utk memberi alasan2 yg panjang lebar utk uu, karena hal ini hanya membuka pintu utk pertentanga.
g. Yg paling penting adalah bhw ia harus dpertimbangkan secara matang dan mempunyai kegunaan praktis, dan “natura des choses” (apa yg sewajarnya), sebab UU yg lemah, tdk bermanfaat dan tidak adil akan merusak, seluruh sistem perUUan dan melemahkan kewibawaan negara.
7. Coba saudara jelaskan 5 (lima) pola hubungan antara hukum dan moral, sehingga nampak jelas antara hukum dan moral ada keterkaitan. Walaupun harus diakui hukum tidak sama dan sebangun dengan moral !
JAWAB:
1. Moral dimengerti sebagai yg menghubungkan hukum dengan ideal kehidupan sosial politik, keadilan sosial. Upaya2 nyata dilakukan untuk mencapai ideal itu. Bagi penganut hukum kodrat, ini merupakan hubungan kodrat dan hukum positif.
2. Hanya perjalanan sejarah nyata, antara lain hukum positif yg berlaku sanggup memberi bentuk moral dan eksistensi kelektif. Perwujudan cita-cita moral tidak hanya dipahami sebagai cakrawala yg tidak mempunyai eksistensi (kecuali dalam bentuk gagasan). Dalam pola kedua ini, perwujudan moral tidak hanya melalui tindakan moral, tetapi dalam perjuangan di tengah2 pertarungan kekuatan dan kekuasaan, tempat dimana dibangun realitas moral (partai politik, birokrasi, institusi2, pembagian sumber2 ekonomi).
3. Voluntarisme moral. Di satu pihak dalam kehidupan nyata moral bisa memiliki makna; di lain pihak moral dimengerti juga sebagai sesuatu yg transenden yg tidak dapat direduksi ke dalam hukum dan politik. Satu2nya cara untuk menjamin kesinambungan antara moral dan hukum atau kehidupan konkrit adalah menerapkan pemahaman kehendak sebagai kehendak murni. Implikasinya akan ditetapkan pada dua pilihan yg berbeda. Di satu pihak pilihan reformasi yg terus menerus.Pilihan ini merupakan keprihatinan agar moral bisa diterapkan dalam kehidupan nyata, tetapi sekaligus sanksi akan keberhasilannya. Maka yg bisa dilakukan adalah melakukan reformasi terus menerus. Di lain pihak pilihan berupa revolusi puritan. Dalam revolusi puritan, ada kehendak moral yg yakin bahwa penerapan tuntutan moral itu bisa dilakukan dgn memaksakannya kepada semua anggota masyarakat. Kecenderungannya ialah menggunakan metode otoriter.
4. Moral tampak sebagai di luar politik. Dimensi moral menjadi semacam penilaian yang diungkapkan dari suatu kewibawaan tertentu. Tetapi kewibawaan ini bukan merupakan kekuatan yg efektif, karena tidak memiliki organ atau jalur langsung utk menentukan hukum.
5. Politik adalah tindakan kolektif yg berhasil melanda akan diri pada mesin institusional. Moral dianggap seabagai salah satu dimensi sejarah, sebagai etika konkrit bukan hanya bentuk dari tindakan. Dengan demikia, moral berbagi lahan dengan politik. Di satu pihak, moral menjadi efektif; melalui hukum, lembaga2 negara, upaya2 dalam masalah kesejahteraan umum. Tetapi moral tidak bisa direduksi ke dalam politik. Di lain pihak, politik mengakui moral. Sampai pada titik tertentu, politik (dalam arti ambil bagian dalam permainan kekuatan) hanya mempermainkan moral karena politik hanya menggunakan moral untuk mendapatkan legitimasi dari masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar